Kamis, 08 Desember 2011

(Novel Angkatan ‘66) HABIS GELAP TERBITLAH TERANG Karya : Armijn Pane

Ingin benar hati saya berkenalan dengan seorang “anak gadis modern”, gadis yang berani, yang sanggup tegak sendiri, gadis yang saya sukai dengan hati jantung saya, anak gadis yang melalui jalan hidupnya dengan langkah yang tangkas, dengan riang suka hati, tetap gembira dan asik. Bila boleh oleh ada lembaga negeri saya, inilah kehendak dan upaya saya, ialah menghambakan diri semata-mata kepada daya upaya dari usaha kaum muda di Eropa. Tetapi adat kebiasaan yang sudah berabad-abad itu, ada yang tak mudah merombaknya itu, membelenggu dalam genggamannya yang amat teguh.Dan adat kebiasaan negeri kami sungguh-sungguh sangat bertentangan dengan kemauan zaman baru. Siang malam saya pikirkan, saya heningkan daya upaya supaya boleh terlepas dari kongkongan adat istiadat negeri saya yang keras, akan tetapi … adat Timur lama itu benar-benar kukuh dan kuat.
            Sesungguhnya adat sopan santun kami orang Jawa amat sukar. Adikku harus merangkak, bila hendak lalu dimukaku. Seorang gadis harus perlahan-lahan jalannya, langkahnya pendek-pendek, gerakannya lambat seperti siput layaknya. Bila agak cepat, dicaci orang, disebut kuda liar.  
            Stella, tahukah engkau, betapa sedihnya hati, ingin benar-benar berbuat sesuatu, sedang diri merasa sungguh-sungguh tiada daya berbuat begitu. Engkau bertanya, apakah asal mulanya aku terkurung dalam empat tembok tebal. Sangkamu tentu aku tinggal di dalam terungku. Bukan. Stella, penjaraku rumah besar, berhalaman luas sekelilingnya. Teringat aku, betapa aku, oleh karena putus asa dan sedih hati yang tiada terhingga. Pergi ke Eropa ! Sampai nafasku yang penghabisan akan tetap menjadi cita-citaku.
            Sekarang tahulah aku, mengapa orang Belanda tiada suka, kami orang Jawa maju. Apabila si Jawa telah berpengetahuan tiadalah hendak mengia dan mengamin saja lagi, akan barang sesuatu yang dikatakan dipikulkan kepadanya oleh orang yang diatasnya. Dan apabila perjuangan orang laki-laki itu sudah sengit, maka akan bangkitlah pihak perempuan.
            Jika ada pula diadakan sekali kesempatan bagi gadis itu mempelajari sesuatu kepandaian yang boleh menjadi jalan untuk mencari penghidupannya sendiri, bila oleh karena kecerdasannya tiada senang hatinya lagi kembali ke dalam dunianya yang dahulu. Dan gadis yang pikirannya sudah dicerdaskan, pemandangannya sudah diperluas , tiada akan sanggup lagi hidup di dalam dunia nenek moyangnya. Stella, mimpikah ini, atau sungguhkan benar ? Sungguhkah akan baik jadinya dengan kami ini ? Bolehkan kami berharap ? Semuanya itu masih jauh dari capaianku, tetapi cahayanya telah mengenai mukaku.
            Jadi, kalau kami tiada ke negeri Belanda, bolehkah saya ke Betawi belajar jadi dokter ? Jawab Bapak atas pertanyaanku bolehlah diringkas demikian : “Jangan engkau lupa, engkau seorang Jawa, sekarang belum lagi mungkin engkau menuju ke arah itu.” Hal itu tidak dapat diputuskan Bapak begitu saja; Bapak akan memikirkannya terlebih dahulu dengan panjang lebar. Itulah tandanya Bapak tidak menolak pertimbangan saya itu sama sekali; Bapak tahu bagaimana jua pun, saya hendak bebas juga, berdiri sendiri, tiada bergantung kepada orang lain.
            Bapak sudah berkenan; sudah teralahkan kesukaran, sudah tergulingkan batu rintangan yang sebesar-besarnya. Tahulah saya Bapak ada disamping saya, dengan gentarnya, girang gembira dengan langkah ringan, senyum pada bibir, saya pun berjalan menempuh musuh !
            Maksud saya akan tercapai atau tidak, itu sekarang bergantung kepada keras atau tiadanya kemauan saya dan ada atau tidaknya kecakapan saya. Banyak harapan saya sangat berani saya. Ibu jagalah supaya tetap keberanian saya itu, Ibu !
            Telah lama dan telah banyak saya memikirkan perkara pendidikan, terutama dalam beberapa waktu yang akhir ini, dan pendidikan itu saya pandang kewajiban yang mulia dan suci, sehingga saya pandang suatu kejahatan, jika saya menyerahkan tenaga kepada usaha mendidik itu. Dan orang yang tetap tiada berbudi, biarpun pikirannya sudah cerdas benar tiadalah boleh dipisahkan benar, karena umumnya pendidikannyalah yang salah.
            Alangkah banyaknya barang yang menjadikan kita harus bersyukur. Bila kami merasa senang karena mendengar nikmat nyanyian unggas atau lagu musik yang merdu, yang melupakan kami akan diri kami sendiri, maka kami pun merasa amat syukur, karena Tuhan tiada melahirkan kami tuli ! Itulah mimpi, memimpikan yang indah, memimpikan bahagia ! Dan kita duduk dikelilingi segala yang indah dan molek bagai dalam dunia angan-angan. Kaum muda mas sekarang, tiada pandang laki-laki atau perempuan, wajiblah berhubungan. Masing-masing sendiri-sendiri memang dapat berbuat sesuatunya akan memajukan bangsa kami, tetapi apabila kita berkumpul bersatu, mempersatukan tenaga, bekerja bersama-sama, tentu usaha itu lebih besar hasilnya. Bersatu. Kita kukuh teguh.
             Lalu dengan sangat bersungguh-sungguh terdengarlah suara mengatakan, “Berpuasalah sehari semalam, berjaga-jagalah pula waktu itu, bersepikan diri.”
            “ Habis malam datanglah siang
               Habis topan datanglah reda
               Habis perang datanglah menang
               Habis duka datanglah suka.”
Itulah maksud buah pikiran yang kedapatan pada ucapan perempuan tua itu. “Karena sengsara, menderita, karena tafakur, maka diperoleh nur cahaya !” Mustahil cahaya akan datang, bila tiada didahului oleh gelap; bagus bagus bukan ?
            Telah banyak kami berjuang dan menanggung; sangka kami sudah cukuplah demikian, oleh segala kesedihan hati dan perjuangan itu sudah patutlah kami rasanya berhak menjadi pengantin bangsa kami yang kami sayangi ! Kini saya tidak hendak lagi memikirkan suatu apapun jua, tidak kepada perjuangan, penderitaan, kesusahan, cobaan; sekaliannya itu membuat kepalaku sangat lelahnya, dan hati sangat sakitnya; saya hendak bernapas dalam udara penuh semerbak bunga, dan hendak hidup disinari matahari , semuanya itu pun ada, ialah akan melipur hati dan member rahmat.
            Betapa jua bagi orang sebangsa saya, nasib saya kemudian hari ini tiadalah yang melebihinya, karena bagus dan sangat diingini semua orang. Perkawinan itu sendiri sudah membawa kebaikan bagi usaha kami itu. Orang tua anak-anak gadis terbangkit hatinya, terdorong hati mereka akan member didikan kepada anak gadisnya. Perbuatansaya itu akan lebih banyak menarik hati orang sebangsa saya daripada seribu kata ajakan gembira-gembira. Diketahui merekalah : keindahan dan kekayaan oleh budi dan pikiran.
            Bila boleh mendapat seorang guru perempuan yang baik, kami bercita-cita mengadakan sekolah bagi anak-anak gadis orang berpangkat dirumah kami ini. Sebuah sekolah gadis yang diadakan di rumah kami sendiri, dipimpin oleh seorang guru perempuan Eropa, sedang saya ajdi “pemimpinnya yang tertinggi”, besarlah harapan saya sekolah yang demikian akan maju. Damai dan aman sekarang hatiku. Sangatlah banyaknya perkara terjadi sebelumnya itu.
            Dahulu di rumah orang tua saya, sudah kami mulai pekerjaan itu dan kini adik-adik saya perempuan meneruskan pekerjaan itu. Sekolah kami yang kecil itu di Jepara sudah ada muridnya dua puluh orang anak-anak perempuan orang berpangkat. Disini pun telah saya mulai pula pekerjaan itu, anak-anak saya sendiri ada jadi murid-murid saya yang pertama-tama. Dengan demikianlah kami orang Jawa ini dapat mewujudkan mimpinya pada masa gadisnya .


                                                                                                                      KARTINI



TUGAS ILMU BUDAYA DASAR (NOVEL ANGKATAN ‘66)
NAMA : CHAERUNNISA UTAMI
KELAS : 1PA04
NPM : 18511135


Tidak ada komentar:

Posting Komentar